Einstein, Tuhan… dalam pandangan Goenawan Mohamad
Galileo menafsir ciptaan Tuhan dengan matematika, Einstein menyimaknya dengan ketakjuban. Pada umur 12, anak Yahudi calon penemu Teori Relativitas ini tak lagi mempercayai Kitab Suci. Ia membaca sebuah buku kecil tentang bidang geometri Euklides, dan ia terpesona. Dalam otobiografinya yang ia tulis pada usia 67 — sebuah buku 45 halaman — ia menyebut yang ia baca saat itu sebuah “Keajaiban”. Di dalam diri remaja itu, dunia sains menampakkan diri bagai “sebuah teka-teki besar yang kekal”. Maka pada umur 16 ia meyakinkan ayahnya bahwa ia tak beragama. Ia sedang menciptakan iman dan sains-nya sendiri. Dua dasawarsa kemudian, dalam pidato buat ulang tahun ke-60 Ilmuwan Max Planck, Einstein menyebut “iman” itu. Dalam menghadapi problem sains yang paling sulit, katanya, agar tetap teguh, kita perlu “sebuah Gefühlszustand (keadaan perasaan) seperti seorang religius…” “Religius”, dalam pengertian Einstein tak berarti taat beribadat. Agamanya lain. “Agamaku adalah rasa kagum yang daif kepa